Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Menyoal Identitas Perempuan yang Hilang Setelah Menikah

InfoBunda.id - Kadang saya berpikir apakah lebay jika merasa bahwa seolah identitas pribadi yang melekat sejak lahir, prestasi, karier yang dimiliki sebelum menikah hilang? Sebab saat ini saya tidak lagi dikenal sebagai perempuan tetapi hanya seorang istri dan ibu.


Ilustrasi Menyoal Identitas Perempuan yang Hilang Setelah Menikah . (pexels.com/Pixabay)


Sejak menikah saya lebih sering dipanggil dengan nama suami alih-alih nama sendiri. Lalu setelah punya anak, panggilan saya kembali diganti dengan nama anak. Sekarang saya lebih dikenal dengan nama Bu R dan Ibunya A.

Menyoal identitas perempuan yang sudah menikah nyatanya menurut saya bukanlah hal yang remeh. Apalagi jika prestasi yang diukir luar biasa besar seperti yang diraih oleh Esther Duflo. 

Esther Duflo adalah ekonom dan profesor di Departemen Ekonomi MIT. Ia menikah dengan sesama pakar ekonomi, Abhijit Banerjee. Pada tahun 2019 lalu, Esther Duflo menerima penghargaan Nobel Ekonomi bersama dengan Abhijit Banerjee dan Michael Kremer. 

Namun, yang jadi soal adalah bagaimana sejumlah media India yang merupakan negara kelahiran Abhijit Banerjee memberitakan pencapaian Esther Duflo. Media setempat menuliskan nama Esther Duflo dengan embel-embel ‘istri dari Abhijit Banerjee’ dalam judul pemberitaan. 

Padahal nama dua rekannya Abhijit Banerjee dan Michael Kremer ditulis tanpa atribut sebagai ‘suami dari’. Hal itu membuat seolah-olah pencapaian Esther Duflo sebagai penerima termuda Nobel dan perempuan kedua peraih Nobel diperoleh berkat suaminya semata. 

Padahal jauh sebelum menikah, Esther Duflo telah dikenal luas sebagai ahli di bidang ekonomi. Jika perempuan sekelas Esther Duflo saja bisa ‘kehilangan’ identitas pribadi dalam hal ini namanya sendiri setelah menikah maka bagaimana nasib perempuan biasa? 

Fenomena tadi semakin langgeng lantaran adanya anggapan setelah menikah perempuan akan menjadi milik suaminya. Oleh karenanya semua pencapaian perempuan pasti akan dikreditkan pula pada ‘pemilik’. 

Padahal sebelum menjadi istri, perempuan adalah manusia yang setara dengan laki-laki.  Pernikahan membawa atribut baru bagi perempuan yaitu istri dan ibu yang umum disebut peran sosial.

Kemapanan peran sosial itu membuat kebanyakan perempuan tidak lagi dilihat sebagai diri pribadi. Melainkan hanya dilihat sebagai pemilik peran istri dan ibu. Akhirnya diri personal perempuan sebelum menikah pun menjadi terkurung dan tertutup oleh peran sosial tersebut.

Kaburnya identitas pribadi dan identitas peran

Sama kasusnya dengan media India menyebut Esther Duflo ‘istri dari’ saat memberitakan tentang penghargaan Nobel Ekonomi yang diterimanya, Indonesia pun punya kebiasaan serupa. 

Tak jarang perempuan berprestasi dan kebetulan bersuamikan pria dengan jabatan atau profesi mentereng cenderung dipanggil dengan ‘istri dari’. Ya, panggilan tersebut telah menjadi kebiasaan dan produk budaya yang melihat kesuksesan atau pencapaian perempuan semata karena suaminya.

Sementara panggilan yang umum dalam masyarakat kita misalnya, seperti Bu Bambang, Bu Rozi, Bundanya Ayu, Ibunya Akhtar adalah penegasan dari peran yang sedang dijalani oleh perempuan tersebut. 

Dalam realita kehidupan sosial, tidak bisa dimungkiri bahwa identitas manusia berubah bersamaan dengan peran sosial serta stereotip yang melekat padanya. Sehingga bukan hal yang aneh dan bahkan dianggap wajar saat perempuan menikah tak lagi dipanggil dengan nama lahirnya.

Hanya saja, panggilan tadi membuat identitas diri perempuan menjadi kabur. Kekaburan identitas pribadi dengan identitas peran inilah yang membuat perempuan kehilangan identitas personalnya lepas dari peran istri ataupun ibu.

Padahal perempuan tidak hanya hidup di lingkup kolektif yang melulu memerlukan peran sosialnya. Perempuan punya hak untuk tetap memiliki identitas diri, agar pencapaian yang diraih bisa menjadi suatu legacy yang bisa dibanggakan sebagai perempuan secara personal.

Istri dan Ibu bukanlah identitas

Istri atau ibu bukanlah identitas bagi perempuan. Itu adalah peran yang muncul karena adanya perubahan status setelah pernikahan. Tetapi dalam praktiknya peran tersebut dipahami sebagai identitas.

Sehingga hilanglah identitas diri perempuan dari hal tersimpel yaitu dengan perubahan namanya menjadi nama suami. Ini menjadi bias karena laki-laki yang menjadi suami dan ayah tidak mengalami hal serupa. 

Secara umum peran sebagai suami tidak membuat laki-laki kehilangan identitas personalnya. Mereka tetap dipanggil dengan namanya, semua pencapaian dikreditkan pada dirinya sendiri secara pribadi. Bukankah ini ketimpangan?

Tentu saja seperti sudah disebutkan sebelumnya, semuanya terjadi karena budaya. Harus diakui bahwa budaya patriarki masih kuat di tengah gempuran isu kesetaraan gender. Sampai-sampai perempuan sendiri kadang tak sadar bahwa dirinya masih berada di bawah bayang-bayang lelaki.

Budaya dan kebiasaan membuat perempuan kehilangan identitasnya setelah menikah dianggap lumrah dan tidak perlu dipersoalkan. Memang benar pernikahan merupakan bagian besar dalam hidup perempuan. Fakta itu jelas tidak bisa diubah. Tetapi status hubungan dengan suami bukanlah satu-satunya aspek penting dalam keseluruhan hidupnya.

Akan tetapi perlu diingat bahwa sebelum menjadi seorang istri atau ibu, perempuan adalah manusia yang memiliki mimpi dan semangat. Sama halnya dengan laki-laki.  (Safitri Yulikhah)