Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Identitas Perempuan Setelah Pernikahan dalam Pandangan Islam

Infobunda.id - Kedatangan Islam menjamin hak-hak perempuan seperti halnya laki-laki. Dari yang dulunya diperlakukan seperti barang yang dapat diwariskan menjadi sosok pribadi yang setara sebagai manusia.


Ilustrasi Identitas Perempuan Setelah Pernikahan dalam Pandangan Islam. (Infobunda.id/pexels.com/Cedric Fauntleroy)


Namun, keindahan Islam yang sudah mengangkat derajat perempuan justru kadang dipertanyakan. Terutama karena adanya anggapan bahwa identitas perempuan dirasa hilang setelah menikah.

Pandangan tadi muncul sebagai tanggapan atas pernyataan bahwa ‘perempuan adalah milik suaminya setelah menikah’. Dilihat dari redaksinya saja, pernyataan tersebut memiliki kontradiksi dengan bagaimana Islam menyelamatkan perempuan di masa jahiliyah.

Kata ‘milik’ mengandung makna bahwa perempuan merupakan objek yang kepemilikannya dikuasai suami. Jika demikian, apa bedanya dengan keadaan perempuan di masa lalu saat manusia masih terjebak dalam kebodohan?

Pernyataan kontradiktif tadi besar kemungkinannya lahir dari pemahaman atas redaksi sejumlah ayat. Salah satunya adalah Al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 34 yang artinya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),....”

Padahal ayat tersebut jelas membahas tentang hubungan perempuan dan suaminya yang memiliki tanggung jawab atas istri. Namun, menjadikan dalil tadi seolah sama dengan kata ‘milik’ tentunya kurang tepat. 

Sebab, perempuan tetap memiliki hak atas dirinya dan bahkan diperbolehkan untuk bisa mengelola rumah tangganya. Kendati perempuan harus meminta izin pada suami atas tindakannya. 

Permintaan izin ini tiada lain sebagai bentuk penghargaan dan bakti kepada suami yang sudah bertanggung jawab atas dirinya sesuai syariat. Sehingga setelah menikah pun perempuan adalah dirinya sendiri sebagai manusia secara utuh.


Kaburnya Identitas Pribadi Perempuan Setelah Menikah

Sayangnya setelah menikah, perempuan yang masih dianggap sebagai ‘milik’ suami cenderung kehilangan identitasnya sebagai pribadi. Contoh paling sederhana adalah ketika perempuan menikah jauh lebih sering dipanggil dengan menggunakan nama suami alih-alih namanya sendiri. 

Misalnya Bu Bambang atau Bu Rozi, sudah sangat umum dalam masyarakat Indonesia. Panggilan perempuan dengan menggunakan nama suami sejatinya merupakan penegasan dari peran yang sedang dijalaninya, yaitu sebagai istri. Hal itu dapat dipahami karena memang identitas manusia berubah seiring dengan peran sosial yang melekat padanya. 

Itulah mengapa perempuan yang menikah dan dipanggil dengan nama suami adalah hal yang umum terjadi. Akan tetapi hal itu dapat mengaburkan identitas diri perempuan. Identitas perempuan sebagai pribadi menjadi kabur dengan identitas peran yang dijalani. Akibatnya identitas personal perempuan hilang.

Padahal perempuan berhak tetap memiliki identitas diri secara personal. Sebab istri dan ibu bukankah identitas melainkan peran yang muncul atas pernikahan. Sedangkan hal yang demikian tidak dialami suami. Laki-laki tidak kehilangan identitas personalnya meski ia juga menyandang peran sebagai suami. 

Kekaburan itu tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya yang ada di Indonesia. Sudah bukan rahasia jika budaya patriarki masih cukup kuat dan dilestarikan oleh masyarakat baik sadar atau tidak. Termasuk keyakinan bahwa perempuan milik lelaki sehingga wajah jika ia dipanggil dengan nama ‘pemiliknya’.


Kedudukan Perempuan dalam Islam

Perempuan dalam pandangan Islam memiliki empat kedudukan utama. Pertama adalah perempuan sebagai hamba Allah yang tanggung jawabnya sama dengan laki-laki. Artinya baik perempuan atau laki-laki berkewajiban untuk taat dan mengabdi pada Allah. Kedudukan ini sama dan setara antara perempuan dan laki-laki, bahwa hidup manusia adalah untuk beribadah dan mencari keridhaan Allah SWT.

Kedua perempuan sebagai istri perempuan sebagai istri ketika sudah menikah. Posisi perempuan sebagai istri ini adalah untuk membangun rasa kasih sayang dan ketentraman dalam jiwa pasangan. Sebagaimana ada di dalam QS. Ar-Rum: 21. Kedudukan inilah yang kemudian membuat istri cenderung dianggap sebagai milik suami.

Sedangkan status istri adalah peran yang muncul dari ikatan pernikahan. Bakti istri pada suami merupakan bentuk cinta dan cara untuk menghargai sang suami. Dan bukan sebagai bukti kepemilikan.

Ketiga, perempuan sebagai ibu bagi anak–anaknya. Peran perempuan sebagai seorang ibu dalam Islam sangat penting dan mulia. Bukankah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim jelas disebutkan bahwa anak harus bakti kepada ibu tiga kali lebih besar daripada ayah?

Terakhir, kedudukan perempuan yang keempat adalah sebagai anggota masyarakat. Sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat perempuan memikul tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia dan juga lingkungan. Artinya perempuan memiliki peran di ranah privat dan sosial. 

Keberadaan peran perempuan di ranah sosial sendiri jadi bukti, jika perempuan memiliki hak dan kuasa atas dirinya. Maka, pemilik perempuan sebagai manusia sosial adalah dirinya sendiri.

Empat kedudukan perempuan tadi merupakan perwujudan peran yang harus dijalani perempuan dalam hidupnya. Tak ada dari empat kedudukan tadi yang secara gamblang menyebutkan jika perempuan adalah milik suami. 

Sebab, sebagai manusia perempuan memiliki hak atas diri dan segala tindakannya baik di dalam kaitannya untuk habluminallah atau habluminannas. Bukankah setiap orang akan dimintai pertanggung jawaban atas semua amalnya selama di dunia? 

Demikianlah kiranya bahwa perempuan dan laki-laki berkedudukan sama sebagai hamba Allah dan bukan pemilik di antara yang lain. Adapun ketaatan, kasih sayang, tanggung jawab antara suami istri adalah wujud dari ibadah dalam pernikahan.

Jika kesadaran dan pemahaman tentang peran dan kedudukan perempuan dapat ditumbuhkan maka tidak akan ada perempuan yang kehilangan identitasnya setelah menikah (red- Safitri Yulikhah).