Saat Rumah Bukan Lagi Tempat Aman, Kemana Harus Pergi?
Infobunda.id - Rasa sakit dari orang terdekat terkadang meninggalkan luka yang lebih dalam. Ungkapan tersebut sepertinya ada benarnya jika melihat maraknya kasus kekerasan hingga pembiaran justru terjadi di lingkungan rumah dan keluarga.
![]() |
Ilustrasi Saat Rumah Bukan Lagi Tempat Aman, Kemana Harus Pergi?. (Infobunda.id/pexels.com/Polina Kovaleva) |
Orang-orang yang dianggap sebagai keluarga dan bernaung dalam satu rumah seharusnya merupakan orang-orang yang bisa memberi cinta dan melindungi. Mereka seharusnya adalah rumah tempat dimana rasa aman yang tidak dapat dirasakan di luar bisa ditemukan.
Namun, bagaimana jadinya jika rumah malah membuat penghuninya merasa tidak aman dan bahkan terancam kesejahteraannya, baik secara lahir maupun batin? Itulah hal yang rupanya ramai terjadi dan mulai terekspos setelah diviralkan lewat media sosial.
Ada begitu banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi masih di lingkungan rumah. Bahkan dari data yang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tahun 2023, ada sekira 70% korban kekerasan seksual ternyata mengenal pelaku. Para pelaku itu adalah mereka yang masih berada di dalam satu rumah dengan korban. Mulai dari ayah kandung, paman, kakek, kakak, dan hingga anggota keluarga terdekat lainnya.
Sementara itu, masih banyak lagi kasus lain yang melibatkan perilaku abusif dan kasar dari anggota keluarga. Atau perilaku pembiaran yang viral dilakukan oleh ibu dari Ohio Amerika Serikat yang meninggalkan bayinya selama 10 hari untuk liburan. Akibat perbuatannya yang tidak bertanggung jawab itu, anaknya meninggal dalam kondisi yang menyakitkan dan menderita,
Semua perbuatan tadi membawa luka fisik dan batik yang begitu dalam dan jelas akan sulit disembuhkan. Sayangnya, tidak sedikit korban yang terpaksa tetap harus terjebak di dalam rumahnya yang justru menjadi neraka baginya.
Akibatnya, trauma, depresi hingga kecenderungan menjadi pelaku di masa depan akan membayangi hidup para korban. Itulah mengapa kekerasan apapun bentuknya yang terjadi di rumah dan lingkungan keluarga jika dibiarkan akan menjadi lingkaran setan. Terus berputar-putar dari generasi ke generasi.
Keadaan terpaksa bertahan di dalam rumah yang tak lagi nyaman dan aman itu sangat melelahkan. Bahkan menurut psikoterapis Shae Chisman di Georgia, Amerika Serikat, rasa tidak aman yang dirasakan anak-anak ketika otak mereka belum sepenuhnya berkembang akan berakibat pada perubahan emosi, fisik, dan mental secara kekal.
Mirisnya lagi, saat rasa tidak aman itu muncul dari anggota keluarga malah akan membuat korban kesulitan mengelola emosi. Hingga pada akhirnya mereka akan merasa bahwa dirinya memang pantas menerima perlakukan kasar hingga diabaikan.
Lalu langkah apa yang bisa dilakukan?
Beberapa psikolog menyarankan korban untuk meninggalkan rumah atau situasi yang tidak membuat nyaman tersebut. Namun, hal itu jelas tidak mudah. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dipersiapkan sebelum mengambil langkah tersebut.
Tentunya satu hal yang paling penting adanya adanya dana untuk memenuhi kebutuhan ketika benar-benar memilih keluar dari rumah dan meninggalkan keluarga. Selain itu juga tujuan yang akan dituju begitu meninggalkan rumah.
Tidak semua orang punya uang cukup dan tempat tujuan selain rumah yang selama ini dihuni. Itulah mengapa tidak sedikit korban yang memilih untuk tetap diam di rumah dan mengabaikan trauma serta rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dirasakan.
Kenali Emosi diri
Kendati demikian, bukan berarti mereka yang tidak punya uang dan tujuan tempat tinggal tidak dapat menolong dirinya. Sebab ada langkah yang bisa ditempuh yaitu dengan mengenali emosi dan mencoba mengatasinya dengan cara yang positif dan sehat.
Perlu ditekankan bahwa perasaan sakit, sedih, tidak aman yang dirasakan adalah valid dan benar adanya. Meski anggota keluarga yang menyebabkan semua perasaan tadi tidak mau mengaku.
Dapat pula dengan melakukan teknik teknik grounding dengan cara memfokuskan semua panca indra pada kondisi sekitar. Tujuannnya agar pikiran tetap tenang dan teralihkan dari semua emosi negatif.
Misalnya dengan menarik nafas dalam-dalam, atau menghirup bau-bauan tertentu. Atau dapat pula dengan Carilah hobi positif misalnya olahraga sehingga bisa mengurangi intensitas waktu saat di rumah.
Menerima Keadaan
Langkah lainnya adalah dengan menerima keadaan. Bukan memaafkan pelaku yang penting. Melainkan menerima keadaan yang lebih penting.
Sebab menerima keadaan tidaklah sama dengan memaafkan. Dengan menerima keadaan yang terjadi, maka korban akan bisa menerima dirinya. Tidak lagi menyalahkan diri atas semua rasa sakit yang dirasakan.
Jika penerimaan atas keadaan yang terjadi bisa dilakukan maka, hati akan tetap tenang dan damai sekalipun rumah tetap terasa tidak aman dan nyaman.
Selain mengenali emosi dan menerima keadaan, mencari support system dan dukungan sosial dari mereka yang dapat diandalkan dan menjadi sandaran tetap perlu untuk dilakukan. Terutama jika meninggalkan situasi yang tidak nyaman dalam hal ini rumah bukanlah pilihan yang bisa diambil. (Yulikhah)